Kebahagiaan adalah suatu pilihan. Kita sendirilah yang menentukan untuk hidup bahagia atau menderita. Untuk hidup damai sejahtera atau hidup dalam kubangan duka nestapa. Untuk hidup penuh syukur atau mengeluh-menggerutu.
Untuk hidup tanpa beban atau hidup dirundung malang. Banyak orang memilih hidup menderita. Hari baru, yang seharusnya menjadi awal hidup baru, tetap saja dikuasai kekacauan pikiran-perasaan. Tetap saja memelihara kemarahan-kekecewaan-kegagalan yang terjadi ‘hari-hari sebelumnya’.
Tetap saja dikuasai situasi dan keadaan masa lalu. Tetap saja tidak mampu menghapus keputusasaan-kegagalan. Orang yang memilih menderita adalah orang-orang gagal, orang-orang sombong, orang-orang bermasalah. Orang-orang yang memilih menderita adalah orang-orang yang tidak memilih sikap mental 4 B: berubah-bertumbuh-berkembang-berbuah.
Orang-orang yang melihat dan menganggap apa pun-siapa pun selalu tetap-kekal-abadi. Itu sebabnya, orang-orang semacam sedang ‘bunuh diri pelan-pelan’. Dalam korelasi dan interaksi orang-orang yang memilih menderita selalu memberi stigma, memberi cap, memberi label.
Baik pada seseorang, komunitas, tempat, realitas, maupun fenomena. Akibatnya, selalu berburuk sangka-curiga-picik-licik. Sekali orang berbuat salah, bagi orang-orang yang memilih hidup mendertia, selamanya dianggap salah. Sekali orang memberontak-melawan-menentang, selamanya diberi label-cap-stigma pengacau.
Orang-orang yang memilih menderita, dari hari ke hari, selalu berpenampilan palsu, basa-basi, licik, penjilat, otoriter, dan sadis. Mereka membuat ‘benteng kebenaran subjektif’ yang dijadikan senjata setiap untuk menghadapi seseorang, komunitas, tempat, realitas, maupun fenomena.
Ciri-ciri orang yang memilih hidup menderita di antaranya: tidak mudah percaya pada orang lain, selalu curiga pada orang lain dan konteks hidupnya, selalu khawatir. Hal-hal kecil-bahkan yang remeh-temeh menjadi prioritas, yang bukan masalah dijadikan masalah, berpikiran serba instan, mau menang sendiri, tidak menghargai reputasi-dedikasi orang lain, tingkah-polahnya aneh-aneh.
Sahabat, hidup kita hanyalah seperti kabut-uap air-sesaat kemudian lenyap. Hidup hanya “mampir ngombe (ninum)’ ungkap pepatah.
Hari yang kita lalui dijadikan oleh Tuhan. Dianugerahkan pada umat-Nya. Untuk disyukuri hingga menjadi hari yang penuh damai, penuh suka-cita, hari yang membahagiakan. Hari yang kita songsong setiap fajar merekah adalah berkat-kudus-indah mempesona yang selayaknya menciptakan damai sejahtera dan kebahagiaan.
Ada pengalaman yang menyentuh ketika mendampingi ‘penyiar-penyiar muda-belia radio sekolah (dari SD-SMA) menggelar ‘aksi peduli Merapi’. Pada sharing hari ketiga, sembari menghitung uang yang didapat setiap kelompok, ada siswi SMA yang menangis.
Pasalnya, ia sangat haru ketika seorang ibu muda berjilbab menguras habis seluruh isi dompet ke kardusnya. Lembar-lembar uang dari yang berwarna merah hingga receh berpindah menghuni kardus si siswi. Ia haru-kagum pada ibu muda berjibab. Seorang ibu muda berjilbab, yang baru saja keluar dari ‘supermarket’ bersama anaknya semata wayang, begitu tulus-ikhlas memberi.
Dari sepeda motor yang dipunyai mengisyaratkan bukanlah milyander seperti Gayus yang mampu menyewa kamar 2 juta semalam. Namun, dari tutur kata dan sikapnya mampu menguras air mata ‘siswi SMA yang kebetulan penyiar radio sekolahnya.
Sahabat, mungkin kita bekerja di salah satu kantor-perusahaan, atau di mana pun, yang dipenuhi rumput ilalang alias orang-orang yang memilih menderita dengan polah-tingkah kepalsuannya: bicara palsu, senyum palsu, tertawa palsu, cerita palsu, janji palsu.
Janganlah kita biarkan untuk tidak bahagia. Biarkan semua dalam ritme dan gaya hidup mereka. Desahkan saja, “Ya, sudahlah!” Lalu, kibaskan debu dan ambil jarak. Asal, jangan membencinya!
Jagalah sikap baik. Tetaplah berkembang tepat di mana pun, kepada siapa pun, dan kapan pun kita berada. Biarkan Tuhan yang bekerja dan berkaya. Bukankah Sodom-Gomorah atau air bah dan perahu Nuh telah mengajarkan pada kita bagaimana hidup bahagia.
Bukankah Zakheus-Paulus-Kornelius telah meyakinkan kita untuk tetap hidup bahagia bagaimana pun dunia mencerca dan membatasi sepak-terjang kita. Biarkan orang hidup seturut pilihannya: bahagia atau menderita. (*)
*Kabar Indonesia
Hidup dengan Bahagia